Saturday, July 25, 2020

Cerpen Tetap Ada

0 comments

“Tetap Ada”

Guru      :   “Sedang apa kau Nak?”

Murid    :   “Aku sedang menghapus tulisan di lembaran ini Guru.”

Guru    : “Mengapa kau menghapusnya Nak? Bukankah kau sudah menulisnya dengan susah payah, banyak yang kau korbanku untuk menulis di lembaran itu”.

Murid   :  “Iya Guru, saya paham tentang itu. Tapi saya rasa tulisan terlampau buruk Guru.”

Guru      :   “Buruk dari sisi mananya Nak?”

Murid  :  ”Tulisan ini tidak indah guru, jalan cerita teramat rumit. Menurutku ini mengecewakan Guru. Aku harus menghapusnya.”

Guru      :  “Apakah dengan mengahapusnya tulisan itu bener-bener hilang, tak terbaca lagi?”

Murid    :   “Tulisan ini hanya menggunakan pensil Guru, mudah untuk menghapusnya.”

Guru     :   “Sudah kau coba untuk menghapusnya? Apakah tulisan itu benar-benar hilang, tak tebaca sama sekali, tak membekas?”

Murid   : “Dibeberapa sisi mungkin akan membekas, dan mungkin masih bisa untuk dibaca. Tapi saya bisa menimpan dengan tulisan lainya. Sehingga tulisan ini tak terlohat.”

Guru      :   “Tak perlulah kau lakukan itu, percuma, biarkan saja.”

Murid    :   “Mengapa seperti itu guru?”

Guru      :   “Karena itu hanya akan merusak tulisanmu berikutnya.”

Murid    :   “Ya sudah saya lipat saja lembaran ini ya Guru?”

Guru     :  “Tidak perlu juga, biarkan saja seperti. Lekas kau lanjutkan menulis di lembar berikutnya.”

Murid   :  “Tapi guru tulisan di lembar ini teramat buruk, tidak elok ceritanya. Aku sobek saja untuk lembaran ini.”

Guru      :  “Tidak usah, tidak perlu. Tidak perlu kau menghapusnya, karena tulisan akan tetap terlihat. Tidak perlu juga kau melipatnya lembaran itu, karena bekas lipatanya hanya akan mengganggu saat kau menulis di lembar berikutnya. Apalagi jika kau merobeknya, itu hanya akan merusak lembaran yang lain, bahkan dapat merusak buku itu sendiri. Jadi biarkan lembaran itu tetap seperti itu.”

Murid    :  “Tapi Guru, buku ini jadi tidak sempurna. Terdapat cacat di lembaran ini.”

Guru     :   “Nak, di setiap buku yang ditulis oleh sastra terhebatpun selalu ada cacatnya, namun kita pembaca tidak mengetahuinya.”

Murid    :   “Maaf Guru, saya tidak paham yang guru ucapkan. Bebal sekali otakku ini untu mengerti ucapan guru.”

Guru      :  “Nak, biarkan lembaran ini tetap ada. Lekas kau lanjutkan menulis di lembar berikutnya. Jika kau masih sibuk pada lembaran ini, artinya kau membuang-buang waktu. Lekas lanjutkan!”

Murid    :  “Aduh Guru, tidak bisakah Guru menjelaskan perkara sebelumnya. Sungguh saya ingin mengerti Guru.”

Guru      :  “Seperti ini, kau pahami dengan baik. Jangan kau potong ucapaanku sebelum ku minta kau untuk bicara.”

Murid    :   “Baik Guru, silahkan.”

Guru   :  “Nak, tidak semua kesalahan pada penulisan harus dihapus, apalagi pada lembaran yang hampir penuh dengan tulisan kau itu.”
Murid    :   “Tapi Guru –”

Guru      :   “Sudahkan ku persolahkaan kau bicara Nak?”

Murid    :   “Maaf Guru, lupa.”

Guru      :  “Baiklah ku lanjutkan. Biarkan tulisan itu tetap ada, tetap disana. Kau tetap melanjutkan menulis di lembar berikutnya. Tulislah seindah mungkin, lebih indah dari lembaran ini. Jika kau menemukan kesalahan pada penulisannmu nanti, kau cukup membaca tulisan pada lembar sebelumnya. Supaya kau tahu bagaimana memcari solusinya. Bagaimana agar tulisannya tetap menjadi baik, tetap menjadi indah tanpa perlu kau mengulangi kesalahan yang sama seperti lembar sebelumya. Tulisan pada lembar sebelumnya jadikan  pelajaran untuk tulisan pada lembar selanjutnya. Jika sebab lembar yang kau anggap cacat itu bukunya menjadi buruk, itu menjadi kerja kerasmu Nak. Kau harus menutupi keburukan pada lembaran itu dengan keindahan pada lembar berikutnya Nak. Seperti itu harusnya kau bersikap Nak. Sekarang silahkan jika kau ingin berbicara.”

Murid    :  “Jadi maksud Guru, ku biarkan saja lembaran ini ada untuk diambil pelajaran saat aku menulis di lembar berikutnya Guru.”

Guru      :  “Tepat sekali Nak, pandai kau memahami.”

Murid    :  “Baik Guru.”

Guru      : “Begitulah harusnya manusia hidup. Seperti bukumu. Maka waktunya akan jauh lebih bermanfaat.

Murid    :   “Maksud Guru apalagi, boleh tolong jelaskan Guru!”

Guru     :   “Jika kulanjutnya menjelaskan, kapan kau akan melanjutkan menulisnya Nak. Kau hanya mendengarkanku, tanpa kau lanjutkan tulisan, itu artinya kau menyia-nyiakan waktu Nak. Fokuslah pada tulisan, pada ceritamu untuk lembar berikutya. Itu jauh lebih bermaanfaat.

Murid   :  “Baik Guru, tapi setelah saya menyelesaikan tulisanku, Guru berjanji untuk menjelaskan perihal tadi. Rasanya saya mengerti apa yang Guru maksud, tapi saya tetap butuh penjelsan dari Guru.”

Guru      :   “Baiklah Nak. Lekas lanjutkan!”
Murid    :   “Siap Guru!”


Naya Prasenja
Juli 2020

No comments:

Post a Comment