Luh Ayu Manik Mas, Sayang Hutan
Ketika ujian tengah semester selesai, Luh Ayu Manik
bersama teman-temannya kemah di pantai. Usai meletakkan pakaian dan perbekalan,
murid-murid itu berlari menuju ke tepi laut. Mereka semua riang gembira bermain
pasir dan ombak. Luh Ayu Manik menyarankan teman-temannya agar tidak terlalu ke
tengah laut bermain karena angin kencang dan ombaknya besar. Ketika itu, langit
mendung sebagai tanda akan turun hujan. Ia memanggil teman-temannya agar
selesai mandi lalu berteduh ke wantilan.
Sesampai di wantilan, hujanpun turun. Petir dan guruh tidak
henti-hentinya bergema di langit. Dengan jelas dilihatnya kilatan api bertemu
dengan air laut. Luh Putu Suastini gemetar mendengar gemuruh itu. Ia ingat
kejadian ayahnya yang meninggal dunia karena tersambar kilat saat menanam benih
padi di sawah. Luh Ayu Manik menenangkan teman-temannya agar tidak gemetar dan
takut. Mungkin di wilayah gunung sisi utara ada hujan deras karena air muara
terlihat kotor. Banyak pohon yang dihanyutkan oleh banjir. Luh Ayu Manik iseng
membuka Instagramnya. Ada kabar banjir besar dan jembatan yang putus akibat
diterjang air.
Luh Ayu Manik merasa sedih ketika mengetahui ada banjir yang sampai
menghancurkan jembatan. Sudah pasti warga menjadi sulit bepergian karena tidak
ada jalan penghubung yang dapat dilalui. Ia melihat di Instagramnya,
batang-batang pohon yang tertambat di sungai. Pepohonan itu berserakan dengan
sampah-sampah lainnya. Mungkin hutan di pegunungan banyak yang ditebang untuk
rumah dan kebun. Pepohonan yang ditebang itu lalu dihanyutkan banjir sehingga
menyebabkan jembatan di hilir menjadi porak-poranda ditabrak kayu. Luh Ayu
Manik menceritakan kejadian itu kepada teman-temannya.
Murid-murid kelas dua SMP itu setuju untuk menanam pepohonan seperti
cempaka, bunut, lamtoro, dan yang lainnya. Tujuannya agar hutan menjadi rimbun.
Setelah pembagian rapor, Luh Ayu Manik mengumpulkan teman-temannya yang setuju
untuk menanam pepohonan di hutan. Semua temannya telah bersedia. Beberapa
pohonpun telah siap untuk ditanam di hutan. Semuanya setuju besok mereka akan
mendaki gunung. Teman-temannya yang lelaki ada yang membawa sekop, cangkul, ada
pula yang membawa panyong. Sementara yang perempuan banyak membawa pepohonan
yang akan ditanam.
Untuk menghilangkan lelah, murid-murid itu bernyanyi dalam perjalanan
mendaki gunung. Angin sepoi-sepoi terasa dingin menyusup tulang. Jalan yang
dilewati licin, semua anak berhati-hati, tidak berani bercanda. Jika teledor
mereka bisa jatuh. Murid-murid itu senang melihat alam pedesaan. Dari atas,
terlihat jelas rumah warga di desa. Lautpun kelihatan dari kaki gunung. Di sisi
hutan yang masih rimbun, burung-burung bernyanyi seakan menyapa para murid yang
datang untuk menanam pohon. Sampai di dalam hutan, semuanya terkejut. Ternyata
hutan gundul. Dari luar tampak rimbun, tetapi di dalam keadaan hutan hancur.
Tidak ada pohon yang utuh, kecuali yang tersisa pangkalnya. Mungkin ada
penjahat yang mencuri pohon-pohon ini. Luh Ayu Manik sedih karena meskipun ada
pos Polisi Hutan, tetapi penjahat tetap bisa mencuri. Apakah polisi hutan itu
kalah berani melawan si penjahat? Apakah mereka berpura-pura buta dan tuli jika
ada pencuri yang merabas hutan? Ia ingin menyampaikan hal itu kepada pamannya
yang menjadi Polisi Hutan. Sahabatnya juga terlihat sedih melihat kondisi hutan
yang rusak. Luh Ayu Manik lalu mengajak teman-temannya menanam pohon. Semuanya
sigap bekerja. Setelah semuanya ditanam barulah mereka beristirahat sambil
membuka bekal masing-masing.
Semuanya senang. Mereka terlihat menikmati nasi bekalnya. Sambil makan,
Luh Ayu Manik mengajak teman-temannya untuk lebih sering mendaki gunung.
Tujuannya adalah untuk menyiram pepohonan yang baru ditanam agar bisa hidup.
Dengan cara itu, mereka tidak seperti kebiasaan para pejabat yang hanya bisa
menanam, tetapi tidak rajin menyiramnya setelah selesai menanam. Jangan meniru
pejabat yang menanam pohon hanya untuk pencitraan agar terlihat sayang dan
berkomitmen menjaga pertiwi. Sebisanya, usahakan untuk benar-benar berdedikasi
dan berbakti sehingga pohon yang ditanam tumbuh dan subur. Semua setuju
sekaligus berjanji akan kembali mendaki gunung untuk menyiram tanaman mereka.
Sampai di rumah, Luh Ayu Manik gelisah. Ia masih terbayang-bayang
keadaan hutan yang hancur. Ia tidak percaya kenyataan bahwa hutan telah
ditebangi. Apalagi yang ditebang itu adalah hutan lindung. Polisi hutan itu di
mana? Tidak ada polisi yang menjaga pos. Dari awal menanam pohon sampai pulang
tidak ada Polisi Hutan yang terlihat. Pemerintah juga memiliki Polisi Pamong
Praja, tidakkah ada patroli yang ke sana? Ada keinginannya untuk menyusup ke
dalam hutan. Ia ingin tahu sesungguhnya siapa yang menebangi hutan. Apabila
sudah diketahui, ia akan segera melaporkannya ke polisi agar mereka punya bukti
untuk menangkap si pencuri.
Luh Ayu Manik memiliki keinginan yang besar untuk naik ke gunung agar
bisa memotret penjahat yang mencuri kayu. Fotonya akan diserahkan kepada
polisi. Dia ingin menghentikan penjahat yang mengganggu dan merusak hutan. Jika
hutan terus-menerus ditebang pasti warga yang ada di hilir akan diterjang oleh
banjir ketika musim penghujan datang. Petani tidak bisa menanam padi karena
sawahnya kering, tidak dialiri air. Air sungai yang surut pasti menyebabkan
kesulitan untuk mencari air minum. Jika semua mata air kering, pasti yang ada
hanya air mata.
Luh Ayu Manik mencari Luh Putu Suastini untuk diajak mendaki gunung.
Mereka semua masing-masing membawa ember. Di sepanjang jalan, Luh Putu Suastini
selalu sigap memotret alam sekitar. Ia juga asik berswafoto. Hanya
cekrak-cekrek di sana-sini saja yang dikerjakannya. Foto-foto itu lalu
diunggahnya ke Instagram. Banyak temannya yang memberi tanda jantung sebagai
tanda ikut senang. Tidak sedikit pula yang menanyakan tempatnya berfoto. Tempat
itu dikatakan indah. Hal itu menyebabkan ia semakin asyik berswafoto. Mungkin
karena sinyal yang jelek, itu yang menyebabkan baterai gawainya lemah.
Setelah sampai di pinggir hutan, jelas sekali didengarnya suara mesin
gergaji menggesek-gesek kayu. Luh Ayu Manik dan Luh Putu Suastini terkejut
ketika mendengar suara itu. Pasti sudah ada penjahat yang membabat pohon di
tengah hutan. Mereka berdua lalu berjalan pelan-pelan mencari tempat orang yang
memotong kayu itu. Dari sela-sela pohon yang besar, murid SMP itu mengintip.
Dilihatnya dengan jelas ada lelaki yang merobohkan kayu menggunakan gergaji
mesin. Luh Ayu Manik memasukkan tangannya ke dalam kantong untuk mengambil
gawai. Ternyata karena terlalu terburu-buru pergi ke gunung, gawainya
tertinggal di rumah. Ia lalu meminjam gawai Luh Putu Suastini.
Luh Ayu Manik mengintai wajah lelaki yang memotong pohon itu menggunakan
kamera gawai. Sial, ketika baru saja memotret, baterai gawai itu lemah.
Gawainya mati. Luh Ayu Manik kesal karena tidak bisa memotret si pencuri kayu.
Ia memarahi temannya karena terlalu asik berswafoto sehingga baterai gawainya
lemah. Akan tetapi, Luh Putu Suastini tidak terima disalahkan, Ia juga
menyalahkan Luh Ayu Manik karena berangkat tanpa membawa gawai. Walaupun rugi
akibat tidak bisa mengambil foto si penjahat, namun ia bisa mengingat dengan
jelas wajah si pencuri kayu. Ia akan melapor ke polisi. Keinginannya sangat
besar untuk melapor sekaligus berharap polisi bisa menggambar sketsa wajah lalu
menangkap si maling.
Di kantor polisi, Luh Ayu Manik dan Luh Putu Suastini menceritakan ciri-ciri
fisik dan wajah orang yang membabat hutan itu. Sayangnya polisi tidak percaya
dan mengatakan bahwa "berbohong itu dosa". Tidak boleh berbohong!
Apalagi mengatakan ada pencuri kayu di hutan. Petugas polisi menyampaikan bahwa
pembalakan hutan liar melawan hukum. Siapapun yang terbukti mencuri kayu di
hutan akan ditangkap dan dipenjara. Kata-kata polisi itu dirasakan seperti
bermakna ganda oleh Luh Ayu Manik. Jika ketahuan akan ditangkap dan dipenjara,
sementara apabila tidak tertangkap basah si pencuri pasti akan
sekehendakhatinya membabat hutan. Tidakkah polisi itu berusaha memeriksa dan
menyelidiki, terlebih sudah ada warga yang melapor? Luh Ayu Manik pulang sambil
menggigit jari. Tanpa guna rasanya melaporkan kasus pembalakan hutan liar.
Pada waktu yang telah disepakati, Luh Ayu Manik bersama teman-temannya
mendaki gunung. Semuanya sudah mendapatkan tugas untuk menjalankan siasat
rahasia untuk menakut-nakuti si penjahat. Made Anjasmara memainkan rangda,
Ketut Suprabawa Kabinawa memakai topeng celuluk. Sementara yang lain menyiapkan
tali untuk perangkap kaki si penjahat ketika lari menyelamatkan diri. …….
Lanjuta cerita dapat dibaca di
https://reader.letsreadasia.org/read/99a931bd-1485-43e3-9cad-244c3f1a93ed
BASAbali merupakan sebuah kolaborasi antara para pakar bahasa,
antropolog, mahasiswa, dan masyarakat umum dari dalam dan luar Bali yang
bekerja sama untuk menjaga Bali tetap kokoh dan lestari. Untuk informasi lebih
lanjut, silakan kunjungi www.basabali.org