Tuesday, October 13, 2020

Cerita Pendek Tentang Pentingnya Kelestarian Hutan "Luh Ayu Manik Mas, Sayang Hutan"

0 comments

Luh Ayu Manik Mas, Sayang Hutan


Ketika ujian tengah semester selesai, Luh Ayu Manik bersama teman-temannya kemah di pantai. Usai meletakkan pakaian dan perbekalan, murid-murid itu berlari menuju ke tepi laut. Mereka semua riang gembira bermain pasir dan ombak. Luh Ayu Manik menyarankan teman-temannya agar tidak terlalu ke tengah laut bermain karena angin kencang dan ombaknya besar. Ketika itu, langit mendung sebagai tanda akan turun hujan. Ia memanggil teman-temannya agar selesai mandi lalu berteduh ke wantilan.

Sesampai di wantilan, hujanpun turun. Petir dan guruh tidak henti-hentinya bergema di langit. Dengan jelas dilihatnya kilatan api bertemu dengan air laut. Luh Putu Suastini gemetar mendengar gemuruh itu. Ia ingat kejadian ayahnya yang meninggal dunia karena tersambar kilat saat menanam benih padi di sawah. Luh Ayu Manik menenangkan teman-temannya agar tidak gemetar dan takut. Mungkin di wilayah gunung sisi utara ada hujan deras karena air muara terlihat kotor. Banyak pohon yang dihanyutkan oleh banjir. Luh Ayu Manik iseng membuka Instagramnya. Ada kabar banjir besar dan jembatan yang putus akibat diterjang air.

Luh Ayu Manik merasa sedih ketika mengetahui ada banjir yang sampai menghancurkan jembatan. Sudah pasti warga menjadi sulit bepergian karena tidak ada jalan penghubung yang dapat dilalui. Ia melihat di Instagramnya, batang-batang pohon yang tertambat di sungai. Pepohonan itu berserakan dengan sampah-sampah lainnya. Mungkin hutan di pegunungan banyak yang ditebang untuk rumah dan kebun. Pepohonan yang ditebang itu lalu dihanyutkan banjir sehingga menyebabkan jembatan di hilir menjadi porak-poranda ditabrak kayu. Luh Ayu Manik menceritakan kejadian itu kepada teman-temannya.

Murid-murid kelas dua SMP itu setuju untuk menanam pepohonan seperti cempaka, bunut, lamtoro, dan yang lainnya. Tujuannya agar hutan menjadi rimbun. Setelah pembagian rapor, Luh Ayu Manik mengumpulkan teman-temannya yang setuju untuk menanam pepohonan di hutan. Semua temannya telah bersedia. Beberapa pohonpun telah siap untuk ditanam di hutan. Semuanya setuju besok mereka akan mendaki gunung. Teman-temannya yang lelaki ada yang membawa sekop, cangkul, ada pula yang membawa panyong. Sementara yang perempuan banyak membawa pepohonan yang akan ditanam.

Untuk menghilangkan lelah, murid-murid itu bernyanyi dalam perjalanan mendaki gunung. Angin sepoi-sepoi terasa dingin menyusup tulang. Jalan yang dilewati licin, semua anak berhati-hati, tidak berani bercanda. Jika teledor mereka bisa jatuh. Murid-murid itu senang melihat alam pedesaan. Dari atas, terlihat jelas rumah warga di desa. Lautpun kelihatan dari kaki gunung. Di sisi hutan yang masih rimbun, burung-burung bernyanyi seakan menyapa para murid yang datang untuk menanam pohon. Sampai di dalam hutan, semuanya terkejut. Ternyata hutan gundul. Dari luar tampak rimbun, tetapi di dalam keadaan hutan hancur.

Tidak ada pohon yang utuh, kecuali yang tersisa pangkalnya. Mungkin ada penjahat yang mencuri pohon-pohon ini. Luh Ayu Manik sedih karena meskipun ada pos Polisi Hutan, tetapi penjahat tetap bisa mencuri. Apakah polisi hutan itu kalah berani melawan si penjahat? Apakah mereka berpura-pura buta dan tuli jika ada pencuri yang merabas hutan? Ia ingin menyampaikan hal itu kepada pamannya yang menjadi Polisi Hutan. Sahabatnya juga terlihat sedih melihat kondisi hutan yang rusak. Luh Ayu Manik lalu mengajak teman-temannya menanam pohon. Semuanya sigap bekerja. Setelah semuanya ditanam barulah mereka beristirahat sambil membuka bekal masing-masing.

Semuanya senang. Mereka terlihat menikmati nasi bekalnya. Sambil makan, Luh Ayu Manik mengajak teman-temannya untuk lebih sering mendaki gunung. Tujuannya adalah untuk menyiram pepohonan yang baru ditanam agar bisa hidup. Dengan cara itu, mereka tidak seperti kebiasaan para pejabat yang hanya bisa menanam, tetapi tidak rajin menyiramnya setelah selesai menanam. Jangan meniru pejabat yang menanam pohon hanya untuk pencitraan agar terlihat sayang dan berkomitmen menjaga pertiwi. Sebisanya, usahakan untuk benar-benar berdedikasi dan berbakti sehingga pohon yang ditanam tumbuh dan subur. Semua setuju sekaligus berjanji akan kembali mendaki gunung untuk menyiram tanaman mereka.

Sampai di rumah, Luh Ayu Manik gelisah. Ia masih terbayang-bayang keadaan hutan yang hancur. Ia tidak percaya kenyataan bahwa hutan telah ditebangi. Apalagi yang ditebang itu adalah hutan lindung. Polisi hutan itu di mana? Tidak ada polisi yang menjaga pos. Dari awal menanam pohon sampai pulang tidak ada Polisi Hutan yang terlihat. Pemerintah juga memiliki Polisi Pamong Praja, tidakkah ada patroli yang ke sana? Ada keinginannya untuk menyusup ke dalam hutan. Ia ingin tahu sesungguhnya siapa yang menebangi hutan. Apabila sudah diketahui, ia akan segera melaporkannya ke polisi agar mereka punya bukti untuk menangkap si pencuri.

Luh Ayu Manik memiliki keinginan yang besar untuk naik ke gunung agar bisa memotret penjahat yang mencuri kayu. Fotonya akan diserahkan kepada polisi. Dia ingin menghentikan penjahat yang mengganggu dan merusak hutan. Jika hutan terus-menerus ditebang pasti warga yang ada di hilir akan diterjang oleh banjir ketika musim penghujan datang. Petani tidak bisa menanam padi karena sawahnya kering, tidak dialiri air. Air sungai yang surut pasti menyebabkan kesulitan untuk mencari air minum. Jika semua mata air kering, pasti yang ada hanya air mata.

Luh Ayu Manik mencari Luh Putu Suastini untuk diajak mendaki gunung. Mereka semua masing-masing membawa ember. Di sepanjang jalan, Luh Putu Suastini selalu sigap memotret alam sekitar. Ia juga asik berswafoto. Hanya cekrak-cekrek di sana-sini saja yang dikerjakannya. Foto-foto itu lalu diunggahnya ke Instagram. Banyak temannya yang memberi tanda jantung sebagai tanda ikut senang. Tidak sedikit pula yang menanyakan tempatnya berfoto. Tempat itu dikatakan indah. Hal itu menyebabkan ia semakin asyik berswafoto. Mungkin karena sinyal yang jelek, itu yang menyebabkan baterai gawainya lemah.

Setelah sampai di pinggir hutan, jelas sekali didengarnya suara mesin gergaji menggesek-gesek kayu. Luh Ayu Manik dan Luh Putu Suastini terkejut ketika mendengar suara itu. Pasti sudah ada penjahat yang membabat pohon di tengah hutan. Mereka berdua lalu berjalan pelan-pelan mencari tempat orang yang memotong kayu itu. Dari sela-sela pohon yang besar, murid SMP itu mengintip. Dilihatnya dengan jelas ada lelaki yang merobohkan kayu menggunakan gergaji mesin. Luh Ayu Manik memasukkan tangannya ke dalam kantong untuk mengambil gawai. Ternyata karena terlalu terburu-buru pergi ke gunung, gawainya tertinggal di rumah. Ia lalu meminjam gawai Luh Putu Suastini.

Luh Ayu Manik mengintai wajah lelaki yang memotong pohon itu menggunakan kamera gawai. Sial, ketika baru saja memotret, baterai gawai itu lemah. Gawainya mati. Luh Ayu Manik kesal karena tidak bisa memotret si pencuri kayu. Ia memarahi temannya karena terlalu asik berswafoto sehingga baterai gawainya lemah. Akan tetapi, Luh Putu Suastini tidak terima disalahkan, Ia juga menyalahkan Luh Ayu Manik karena berangkat tanpa membawa gawai. Walaupun rugi akibat tidak bisa mengambil foto si penjahat, namun ia bisa mengingat dengan jelas wajah si pencuri kayu. Ia akan melapor ke polisi. Keinginannya sangat besar untuk melapor sekaligus berharap polisi bisa menggambar sketsa wajah lalu menangkap si maling.

Di kantor polisi, Luh Ayu Manik dan Luh Putu Suastini menceritakan ciri-ciri fisik dan wajah orang yang membabat hutan itu. Sayangnya polisi tidak percaya dan mengatakan bahwa "berbohong itu dosa". Tidak boleh berbohong! Apalagi mengatakan ada pencuri kayu di hutan. Petugas polisi menyampaikan bahwa pembalakan hutan liar melawan hukum. Siapapun yang terbukti mencuri kayu di hutan akan ditangkap dan dipenjara. Kata-kata polisi itu dirasakan seperti bermakna ganda oleh Luh Ayu Manik. Jika ketahuan akan ditangkap dan dipenjara, sementara apabila tidak tertangkap basah si pencuri pasti akan sekehendakhatinya membabat hutan. Tidakkah polisi itu berusaha memeriksa dan menyelidiki, terlebih sudah ada warga yang melapor? Luh Ayu Manik pulang sambil menggigit jari. Tanpa guna rasanya melaporkan kasus pembalakan hutan liar.

Pada waktu yang telah disepakati, Luh Ayu Manik bersama teman-temannya mendaki gunung. Semuanya sudah mendapatkan tugas untuk menjalankan siasat rahasia untuk menakut-nakuti si penjahat. Made Anjasmara memainkan rangda, Ketut Suprabawa Kabinawa memakai topeng celuluk. Sementara yang lain menyiapkan tali untuk perangkap kaki si penjahat ketika lari menyelamatkan diri. …….

Lanjuta cerita dapat dibaca di 

https://reader.letsreadasia.org/read/99a931bd-1485-43e3-9cad-244c3f1a93ed

BASAbali merupakan sebuah kolaborasi antara para pakar bahasa, antropolog, mahasiswa, dan masyarakat umum dari dalam dan luar Bali yang bekerja sama untuk menjaga Bali tetap kokoh dan lestari. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.basabali.org

 



No comments:

Post a Comment